Aku mendongeng IV

September 20, 2018


Cerita sebelumnya klik di sini.

Aku menghabiskan ice cream vanilaku, Bibi Lilian juga terlihat masih berusaha menghabiskan satu cup kecil ice cream raspberry di tangannya, sambil sesekali masih menggerutu kedinginan. Aku hanya menahan tawa melihat tingkah laku Bibi.

"Ayo Bibi, kita lanjutkan perjalanan ini." 
"Kemana?" Dia terlihat ingin protes karena baru saja tangannya digosokkan satu sama lain, membuat gerakan kecil untuk menghangatkan badan.
"Bukankah Nana sudah bilang, aku ingin berkeliling kota ini dengan sepeda." Aku tersenyum jahil membalas senyum Bibi beberapa waktu sebelumnya, saat dia mengiyakan makan ice cream. Bibi Lilian membuat tantangan, siapapun yang berhasil menghabiskan ice cream lebih dulu maka dia berhak memilih rute perjalanan selanjutnya. Tentu saja itu bukan hal yang sulit untukku.
Namun malang untuk Bibi, kali ini dia juga harus ikut berjalan kaki menuju rumah teman lama ku. 
"Das ist nein gut!" Rutuk Bibi Lilian, pasrah.

"Hallo! Guten Morgen, Nana!" Sapa Oliver ketika dia membuka pintu, mempersilahkan aku dan Bibi Lilian masuk.
"Hallo Oliver! Wie geht's?"
"Danke, sehr gut! Und dir?"
"Es geht, danke."
Bibi Lilian menarik jaket ku dari belakang, aku hampir lupa kalau aku datang bersama Bibi. Jika kau bisa melihat wajah Bibi Lilian saat ini, kau pasti akan tertawa, wajah berkeriputnya kini dihiasi dengan bibir mengkerucut, persis anak usia lima tahun sedang merajuk, walau harus ku akui wajah Bibi masih terlihat cantik.
"Oliver, das ist Bibi Lilian." Aku akhirnya memperkenalkan Bibi ke Oliver.
"Guten Morgen, Frau Lilian." Sapa Oliver dengan tersenyum simpul, yang disapa hanya membalas dengan mengangguk. 
Jika disini ada penjual ice cream, aku pasti akan membelikan Bibi ice cream lagi. Bisikku pada Bibi Lilian. 
Dia membalasnya dengan mencubit punggungku dari belakang, dia sudah tersenyum lagi. Bibi Lilian tau kalau sikapnya tiba-tiba menjadi kurang ramah dan membuat suasana sedikit tidak nyaman.

Kami mendapatkan satu sepeda untuk dua orang, dengan dua pasang pedal dan dua tempat duduk. Itu alasan aku meminjam sepeda kepada Oliver, selain dia adalah teman lama, di tempat ini juga hanya dia yang ku kenal dan memiliki sepeda seperti yang aku inginkan. Bisa repot nanti kalau aku membiarkan Bibi Lilian mengayuh sepeda sendirian, entah terpisah atau bahkan pingsan ditengah perjalanan. Nanti aku bisa-bisa disumpahinya, aku membayangkan sambil menahan tawa.
"Tschüs Oliver!"
"Tschüs! Bis bald Nana!"
Aku berpamitan dengan Oliver, selagi aku menuntun sepeda keluar, Bibi terlihat berbicara dengan Oliver, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka sudah lebih akrab dari sebelumnya dan Bibi Lilian sudah tidak merajuk lagi tepat setelah dia mencubit punggung ku karena meledeknya.
Itu memang hal yang biasa bagi Oliver dan Bibi. Mudah akrab dengan orang yang baru dikenal.
"Auf Wiedersehen, Frau Lilian!!" Teriak Oliver dari kejauhan sambil melambaikan tangan dan tersenyum.
"Auf Wiedersehen!" Balas Bibi Lilian, kemudian melanjutkan berlari menyusulku.
"Ja, perfect! Aku yang sekarang terlupakan." Omelku setelah Bibi berhasil mengejar dan mengimbangi langkah. "Bibi sekarang terlihat lebih semangat, tidak seperti saat sebelumnya berjalan kaki ke sini dengan Nana." Aku memasang wajah serius.
"Maafkan Bibi, Nana. Bibi hanya terlalu senang karena bisa berbicara dengan seseorang yang menyenangkan untuk pertama kali lagi, setelah sekian lama." Wajah Bibi terlihat sedih dan bersalah.
"Hahaha.. Bibi tenanglah aku hanya bercanda. Ingat kan aku tidak bisa marah dengan Bibi."
Bibi memukul bahu ku, kesal tapi juga ingin tertawa. Wajahnya sekarang justru terlihat malu seperti baru saja diberikan rayuan oleh suaminya dulu.
"Ayo sekarang kita lanjutkan perjalanan." Bibi Lilian sudah terlihat duduk di belakang, kakinya dibiarkan menggantung. Sengaja. Dia tidak ingin mengayuh sepeda.
"Oh gut!!" Aku menepuk dahi, kali ini aku yang kalah.





Pict from Google













You Might Also Like

0 Comments