Sama-sama manusia

December 16, 2018

Kemarin baru aja gue menumpahkan uneg-uneg di social media. Lebih tepatnya komplain, karena perlakuan kurang menyenangkan di public transportation, di angkutan umum.

Gue ga akan bahas kalimat apa yang gue tulis dan gue share waktu menuliskan uneg-uneg itu, atau kejadian apa yang gue alamin, karena memang gue ga mau inget-inget lagi. Gue jadiin pelajaran juga buat gue. Dalam beberapa hal gue sadari, ternyata saat gue menuliskan uneg-uneg yang gue share, ada beberapa kata umpatan disana. Masih ada orang-orang yang justru gagal fokus, mereka akan terpaku sama kalimat umpatan yang ada, dibandingkan dengan pengalaman kurang menyenangkan yang gue sharing.

Mungkin kesalahan yang gue lakuin adalah gue ga menceritakan kronologisnya, gue cuma sharing klo gue berencana untuk mengajukan laporam komplain ke kantor angkutan umum versi terbaru yang udah pakai kartu, biar nanti ga terulang lagi ke orang lain. Karena sebenarnya udah banyak yang komplain dengan perlakuan yang kurang menyenangkan dari pengemudinya.

Gue tau dari mana banyak yang komplain? Dari supir angkutan umum yang kemarin bermasalah sama gue, gue cuma bales celotehan dia dengan satu kalimat (sopan, bisa self control) tapi justru dengan diamnya gue jadi dia yang banyak buka kartunya sendiri, dan juga dari beberapa curhatan sesama pengguna angkutan umum yang ga sengaja sharing, entah sama-sama lagi nunggu angkutan umum atau di momentum yang lain.

Back to the point, mereka yang gagal fokus sama apa yang gue sharing, pada akhirnya menyadarkan gue sesuatu.
Gue klo mau ngomong atau ngelakuin apapun pasti gue saring dulu, tapi yang harus gue pahami lagi yaitu se-emosional nya kita sebagai manusia, walaupun merasa kita layak untuk marah jangan ditunjukkan. Lagi-lagi ga semua orang mau memahami context penyebab kenapa seseorang sampai bisa marah. Yang mereka tau sekedar "Oh ternyata lu orangnya kasar ya", " Belajar ngaji kok ngomongnya kasar", dan masih banyak lagi.

Gue menulis ini bukan untuk mencari pembenaran, tapi yang begitulah presepsi yang ada. Orang-orang yang berkerudung lebar (ataupun yang biasa saja at least dia udah berkerudung), berjenggot itu dianggap nya sudah alim. Padahal masih sama, masih manusia biasa yang dalam proses belajar.

Memang orang yang bagaimana sih yang boleh marah? Bukannya marah, sedih, kecewa membuktikan kalau kita itu sama-sama manusia?


Dan gue ga akan pernah menerima klo ada orang yang masih mengaitkan kerudung dengan perilaku. Klo kemaren gue marah dan nulis beberapa kata umpatan jadi menyalahkan jilbab gue, gue ga akan pernah terima. Karena yang salah itu gue.


Oiya, kemarin gue nulis gini "You wanna fight?"
I accepted, I'll fight more blablabla.. Fight disitu bukan bermaksud nonjok beneran (kecuali klo emang diperlukan disituasi tertentu untuk melindungi diri, walaupun pasti dari segi tenaga sama laki-laki gue akan kalah kuat), maksud gue disitu adalah memperjuangkan apa yang menjadi hak gue dan yang memang harus gue perjuangkan. Gue ga mau lagi, cuma diam. Karena dulunya pun gue akan berani buka suara klo benar-benar diperlukan.


Mungkin tulisan singkat gue di pict ini, adalah rangkuman dari tulisan gue yang di atas.




You Might Also Like

2 Comments

  1. saya juga amat kesal ke orang2 yang suka negjudge karena penampilan, udah pakai kerudung lebar kok masih gitu sih... Ya Allah pengen saya tabok ginjalnya. nama nya juga manusia, kita ga tau kan apa yang sebanrnya terjadi udah ngejudge duluan. yang paling sakitnya itu sih biar sih sexy minim yang penting ga muna kayak yg kerudungan... ini pengen ditabok jantungnya.

    membandingkan sesuatu yg seolah2 berkerudung/berpenampilan agamis itu bak malaikat yang ga boleh ada cela.. keseel beutt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha literally ngakak dipart nabok ginjal sama jantung.


      Iya klo mau nyalahin, salahin aja kita sebagai human nya. Jangan ke hal lain, kayak jilbab, jenggot dan lainnya.

      Delete