[Little talk about] Quarter Life Crisis in Your Area!

March 21, 2019


Disclaimer: Gue bukan ahli dalam bidang psikologi, gue buat tulisan dengan tema ini karena gue ngerasa pasti banyak di luar sana yang juga sudah atau sedang melewati tahap ini. Dan tenang, kalian ga sendirian.

Pict from pinterest

Istilah dari Quarter-life crisis itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner pada tahun 2001 berdasarkan hasil penelitian mereka terhadap kaum muda di Amerika memasuki abad ke-20. Mereka memberi julukan kepada kaum muda tersebut sebagai “twentysomething”, yakni individu yang baru saja meninggalkan Terapi dengan kenyamanan hidup sebagai mahasiswa dan mulai memasuki real-life, dengan tuntutan untuk bekerja atau menikah. Dilatarbelakangi oleh teori tahapan perkembangan kehidupan Erik Erikson, masih jarang ditemukan penelitian yang berfokus pada masa dimana seorang remaja mengalami transisi sebelum memasuki masa dewasa sebagai masa yang penting (Black, 2010).

Kita pasti bertanya, sebenarnya dari usia berapa sih kita mengalami Quarter-life crisis?

Menurut Robbins dan Wilner, 2001; Olsen-Madsen, 2007, dalam Black 2010 mengatakan quarter-life crisis dapat didefinisikan sebagai suatu respon terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, terlalu banyaknya pilihan-pilihan serta perasaan panik dan tidak berdaya (sense of helplessness) yang biasanya muncul pada individu di rentang usia 18 hingga 29 tahun. Awal mula munculnya onset ditandai saat individu telah menyelesaikan perkuliahan, dengan karakteristik emosi seperti frustasi, panik, khawatir, dan tidak tahu arah. Krisis ini juga mengarah ke depresi dan gangguan psikis lainnya.

Jadi kita pasti sudah merasakan yang namanya rasa panik dan khawatir berlebih sejak usia 18 atau mulai memasuki usia 20 tahun. Berakhirnya masa remaja, dimana umumnya pada usia itu kita dituntut untuk lebih dewasa tidak hanya dalam sisi finansial tapi juga dalam bersikap.
Dan dari sanalah kegalauan muncul, berbagai pertanyaan yang menghantui kita:

“Apa yang sebenarnya gue inginkan ya?”

“Gue bisa sukses dan mandiri ga ya?”

“Udah usia segini, gue udah siap menikah ga ya? Temen-temen gue udah pada nikah.”

“Kok jenjang karir gue gini-gini aja?”

“Di umur segini kok gue belum bisa memutuskan untuk lanjut kuliah atau bekerja?”

“Kok gue belum lulus kuliah?”

“Apa passion gue ya?”

Dan masih banyak lagi yang lainnya, pencetusnya bisa dari faktor external atau internal, biasanya faktor eksternal yang paling sering adalah dari pertanyaan sekadar basa-basi dari teman yang sudah lama tidak bertemu, saudara bahkan keluarga sendiri atau juga dari tawaran-tawaran yang berdatangan dari lingkungan sekitar. Sedangkan faktor internal datangnya dari dalam diri yang belum kokoh.

Contoh dari pertanyaan basa-basi yang berujung jadi faktor pencetus misalnya:

“Kapan nikah?”

“Kapan wisuda? Temen-temen lo udah pada lulus tuh.”

“Kerja di mana?”

“Gaji segitu mah mana cukup.”

“Kerja udah lama masih gitu-gitu aja lo.”

Waittttt, take a deep breath dulu kuy sebelum lanjut baca. Gue sendiri paling sering mendapat pertanyaan basa-basi nomor dua teratas dari temen (Alhamdulillah-nya keluarga selalu support apapun yang terjadi), dan baru-baru ini ada temen gue pun curhat kalau dia hopeless ditahap kuliah karena sering dapat pertanyaan serupa, dia bilang (gue cantumin beberapa aja ya).
ps: gue udah izin sama temen gue buat nulis beberapa curhatannya dia.

“Kuliah sampe semester segini ga lulus-lulus berasa jadi mahasiswa paling bego satu kampus.”

“Gue ga masukkin hati sih, omongan mereka.”

Gue jawab “Sadar atau ga sadar pertanyaan basa-basi atau jokes basi kayak gitu emang ga lu masukkin hati, tapi secara tidak langsung itu terekam di alam bawah sadar lu, yang akhirnya berujung keinget terus, ngerasa ga berguna dan ngerasa sia-sia, padahal mereka ga tau lu udah berjuang kayak gimana.”

Karena yang tadinya kita enjoy-enjoy aja melewati tahap struggle-nya tau kalau ini sulit tapi tetap harus diperjuangkan dan semua akan terlewati, tapi jadi down dan merasa dapet pressure lebih, khawatir berlebih, sedih berkepanjangan. Yang rugi?  Tentu aja diri kita sendiri. Mereka yang mengutarakan itu ga akan sadar kalau ucapan basa-basi-nya berimbas panjang ke kehidupan orang lain.

Nah, kalau pencetusnya dari faktor external, disinilah kita harus bisa memfilter siapa saja yang dekat sama kita, karena menjauhi orang-orang seperti itu bukan berarti kita membenci mereka, tapi karena kita menyayangi diri kita sendiri, kita yang paling memahami diri kita sendiri. Dengan begitu pikiran kita akan jadi lebih tenang dan bisa melanjutkan perjuangan yang sempat tertunda karena sebelumnya kita merasa down.

Atau kalau pencetusnya dari tawaran-tawaran yang menggiurkan, tapi karena diri kita sendiri belum kokoh, belum tau passion kita apa? Yang perlu digaris bawahi adalah jangan ikut-ikutan orang lain, karena nanti kalau hasilnya berbeda dan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, itu justru membuat kita menyesal dan menyalahkan diri sendiri terus menerus.

Karena terdapat 5 (lima) fase yang dilalui individu dalam Quarter-life crisis menurut Robinson (2011), kelima fase tersebut antara lain:
  • Fase pertama, adanya perasaan terjebak dalam berbagai macam pilihan serta tidak mampu memutuskan apa yang harus dijalani dalam hidup.
  • Fase kedua, adanya dorongan yang kuat untuk mengubah situasi.
  • Fase ketiga, melakukan tindakan-tidakan yang sifatnya sangat krusial, misalnya keluar dari pekerjaan atau memutuskan suatu hubungan yang sering dijalani lalu mulai mencoba pengalaman baru
  • Fase keempat, membangun pondasi baru dimana individu bisa mengendalikan arah tujuan kehidupannya.
  • Fase kelima, membangun kehidupan baru yang lebih fokus pada hal-hal yang memang menjadi minat dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh individu itu sendiri.

Permasalahan-permasalahan dewasa muda di Amerika dan Indonesia kurang lebih sama, tapi kalau di Amerika usia setelah sekolah menengah keatas biasanya umur 18 tahun mereka seperti ada kewajiban untuk keluar dari rumah, tinggal mandiri pisah dari orang tua, itu adalah major culture disana. Di Asia tidak berlaku, bahkan tinggal bersama orang tua tidak menjamin bahwa kita tidak ada masalah walaupun usia kita diatas 18 tahun. Crisis yang banyak dihadapi adalah karir dan personal, seperti yang udah gue tulis sebelumnya diatas tentang pertanyaan basa-basi yang sering dilontarkan. 

Di Indonesia ada tuntutan usia tertentu mereka sudah pantas menikah, teman-teman mereka sudah menikah. Ada pula di usia tertentu sudah punya karir yang pasti, sedangkan beberapa diantaranya merasa belum mencapai apa-apa. Perasaan bingung, panik, stress dan krisis. Ini yang membedakan potensi sembuhnya kita yang berada di Asia lebih buruk dibanding Amerika, karena Asia khususnya Indonesia lebih mudah untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal dan sensitif.

Tapi bukan berarti kita tidak bisa melewati tahap quarter-life crisis ini manteman, kita pasti bisa. Badaiiii pasti berlaluuuu (you sing you lose, hehehe) percayalah banyak orang yang juga sedang menghadapi dan berjuang melewati tahapan quarter-life crisis. Remember “Everything happen for a good reason” ketika kita merasa terpuruk dengan keadaan, segala pilihan yang ada, tuntutan dari berbagai pihak, penilaian dari orang lain “Believing in yourself, you’re great in your way.”



The last but not least, sometimes you have to stop worrying. Have faith that things will work out, perhaps not how you planned, but just how they’re supposed to. No matter how good or bad your life is, wake up each morning and be thankful that you still have one.

😊














You Might Also Like

6 Comments

  1. Saya udah mengalami seenggaknya 2x quarter life crisis heheh.
    Yang pertama pas baru lulus kuliah dan kesulitan nyari kerja.
    yang kedua (saat ini) pas baru menikah karena tiba-tiba semua hal berasa jadi lebih rumit dari yg sebelum-sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mba! Makasi ya udah mampir baca ke blog ku.

      Aku sendiri belum menikah, tapi aku rasa memang dunia pernikahan pasti ada rumitnya, karena menyatukan dua kepala yang punya pemahaman berbeda, cara berpikirnya pun berbeda itu ga mudah.
      Tapi sama seperti Quarter-life crisis yang mba alami saat pertama lulus kuliah, aku yakin mba juga bisa melewati tahap yang sekarang.

      Semangat terus ya mba 😊🤗

      Delete
  2. Jika kita mengalamai quarter life crisis, yang harus kita lakuka adalah.... Meleeatinya 😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mba Ami, semoga kita selalu setronggg ya melewati semua tahapannya hahaha 😌

      Delete
  3. Thank you for sharing mbak. Bener ya life crisis tuh ada. Dulu mikirnya alah masalah gitu doang, pdhl pas ngrasain ya ampunnn berat banget pengen nangis, ngeluh, tp jangan, nggak akan berubah kan. Blm nikah aja udh pusing hampir stress ngadapin hidup, blm lagi udh nikah heu

    ReplyDelete
    Replies
    1. You're welcome Mbak Elsa, terima kasih juga udah mampir baca 😊

      Iya betul, masa2 Quarter-life crisis emang nano2.. tapi kalo mau nangis atau ngeluh masih boleh kok mbak asalkan ga keterusan aja hehehehe.

      Klo nanti nikah udh pasti nambah susah-senangnya karena ada bahu tambahan juga utk bersandar, ciatt ciattt 🙈

      Delete